Info Terbaru 2022

Bolehkah Guru Memberi Eksekusi Kepada Siswa?

Bolehkah Guru Memberi Eksekusi Kepada Siswa?
Bolehkah Guru Memberi Eksekusi Kepada Siswa?
Bolehkah Guru Memberi Hukuman Kepada Siswa Bolehkah Guru Memberi Hukuman Kepada Siswa?

Hal yang paling dibenci siswa di sekolah yaitu eksekusi dari guru. Sarana dan prasarana sekolah yang kurang, kepemimpinan kepala sekolah yang kurang, metode mengajar guru yang kurang, dan kekurangan lain di sebuah sekolah tidak hingga menciptakan siswa benci kepada sekolah tersebut. Tetapi, adanya guru yang suka memberi eksekusi kepada siswanya sanggup berakibat siswa tersebut membenci sekolahnya. Namun, bukan berarti guru dihentikan menghukum siswa. Apalagi dengan adanya regulasi yang sangat membatasi santunan eksekusi pada anak/siswa. Oleh alasannya yaitu itu, perlu dipilih dan dipilah eksekusi yang boleh dan eksekusi yang dihentikan untuk diberikan kepada siswa.

Hukuman yang boleh diberikan kepada siswa

Hukuman dimaksudkan supaya setiap pelanggaran terhadap aturan yang ada bisa diminimalisir. Hukuman di dunia pendidikan, khususnya eksekusi yang diberikan guru kepada siswa perspektifnya jauh lebih kompleks dari eksekusi secara umum. Kadang, pelanggaran yang dilakukan siswa justru akan lebih baik bila tidak perlu diberi hukuman atau hukuman, alasannya yaitu eksekusi guru kepada siswanya tidak berarti guru benci kepada siswa tersebut, tetapi justru sebaliknya.

Hukuman guru kepada siswa tidak sekadar bermaksud supaya tidak mengulangi lagi pelanggaran tersebut, tetapi lebih dari itu, eksekusi tersebut juga sanggup menciptakan siswa lebih baik dari sebelumnya. Pada kasus lainnya, eksekusi harus bisa memberi pendidikan lebih kepada siswa. Oleh alasannya yaitu itu, eksekusi guru kepada siswa lebih bersifat mendidik. Siswa harus bisa mencicipi manfaat eksekusi tersebut pada dirinya.

Hukuman di sekolah juga harus memperhatikan banyak faktor. Oleh alasannya yaitu itu, sangat sulit sekolah menyusun SOP santunan eksekusi kepada siswa yang bersalah. Sejatinya sekolah atau guru harus bisa menerapkan santunan eksekusi secara selektif. Harus memerhatikan faktor individual siswa, faktor penyebab kesalahan, faktor gender, faktor riwayat siswa, dan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, terkadang kesalahan yang sama tetapi eksekusi harus berbeda.

Hukuman juga boleh diberikan hanya bila eksekusi tersebut terang kaitannya dengan kesalahan yang dilakukan siswa. Tidak mengerjakan PR misalnya, hukumannya jangan hingga membersihkan WC atau berlari keliling lapangan upacara. Apa hubungannya tidak mengerjakan PR dengan eksekusi tersebut?

Hukuman yang dihentikan diberikan kepada siswa

Secara garis besar eksekusi yang dihentikan di sekolah ada dua yakni eksekusi keras pisik dan psikis. Memberi eksekusi keras sehingga menjadikan siswa kesakitan pisik ataupun psikisnya tidak boleh lagi dilakukan oleh guru. Memukul siswa tentu bukan lagi eksekusi guru kepada siswa, tetapi sudah masuk tindak kekerasan. Begitu pula bila siswa dimaki-maki dengan julukan yang menyakiti perasaan atau psikis (bullying).

Hukuman keras yang diberikan kepada siswa oleh guru tidak akan pernah berdampak positif terhadap perkembangan siswa itu sendiri. Mungkin sanggup menjadi solusi instan terhadap pelanggaran yang dilakukan siswa, namun jangka panjangnya akan menjadi “bola salju” akan kebencian siswa terhadap guru atau sekolahnya. Jangan samakan dunia pendidikan khususnya institusi pendidikan kini dengan yang dulu. Mungkin 20 atau 30 tahun lalu, eksekusi keras guru kepada siswa masih bisa ditolerir, bahkan ada yang beranggapan bahwa keberhasilan para pemimpin dan pengusaha ketika ini yaitu berkat hukuman keras dari guru kepada mereka sewaktu bersekolah. Benarkah anggapan tersebut? Mungkin benar tetapi mungkin pula salah.

Pada ketika guru murka sehingga tidak lagi terkontrol emosinya, juga dihentikan menunjukkan eksekusi pada siswa. Perlu kembali diingat bahwa konotasi eksekusi guru memang bukan kebencian kepada siswa tapi justu rasa sayang. Namun, guru juga insan yang punya murka dan emosi, apalagi bila pelanggaran siswa telah melampaui batas toleransi kekerabatan guru dengan siswa. Kasus menyerupai ini mungkin saja terjadi, namun pada ketika yang sama hal tersebut juga merupakan ujian seorang yang berprofesi sebagai guru. Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) insiden menyerupai ini kadang terjadi. Oleh alasannya yaitu itu, sebelum hal demikian nyata, perlu disikapi beberapa hal antisipatif antara lain: terapkan dengan maksimal guru sebagai pendidik, jadilah guru sebagai idola/dicintai siswa, gap kekerabatan guru dan siswa jangan dibiarkan menganga dengan lebar, rumah tangga serta lingkungan siswa sebaiknya menjadi materi isu sekolah ihwal siswa, dan lain sebagainya.

Kesimpulannya, bahwa eksekusi atau hukuman guru terhadap siswa haruslah merupakan belahan dari pendidikan. Guru tidak harus alpa dalam memberi eksekusi sebagaimana eksekusi yang boleh diberikan, tetapi jangan hingga guru juga obral dalam menghukum siswa, apalagi eksekusi yang dihentikan diberikan kepada siswa.

*) Ditulis untuk oleh Muh. Syukur Salman. Guru SDN 71 Parepare
Advertisement

Iklan Sidebar