Pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB yang menunjukkan bobot sangat kecil untuk nilai UN sudah semestinya disikapi pemerintah dengan meniadakan UN itu sendiri. |
“Buat apa berguru sungguh – sungguh demi mengejar nilai UN sebagus mungkin, toh pada hasilnya bakal tergeser juga sama anak yang nilainya biasa – biasa tapi rumahnya bersahabat dengan sekolah yang dituju”.
Itulah salah satu bentuk kekecewaan yang disampaikan oleh salah seorang siswa Sekolah Menengah Pertama ketika diminta pendapatnya ihwal pemberlakuan sistem zonasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini. Menurutnya, dengan diberlakukannya sistem zonasi, seluruh jerih payah yang dia lakukan untuk mendapat nilai terbaik menjadi tidak ada artinya hanya sebab terkendala jarak. Ia pun lantas mengusulkan biar pemerintah sekalian menghapus UN sebab dinilai mubazir.
Apa yang diungkapkan oleh siswa Sekolah Menengah Pertama tersebut tentunya juga dirasakan oleh anak – anak lainnya di seluruh tanah air. Pemberian bobot yang sangat kecil bagi nilai UN akan berakibat pada menurunnya motivasi berguru anak. Begitu pula dengan anak yang kebetulan tempat tinggalnya tak jauh dari sekolah yang dituju, pemberian bobot yang sangat besar dalam hal jarak akan menciptakan anak tidak maksimal dalam mendapat nilai terbaik. Mereka yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah tersebut dikhawatirkan tidak akan berguru dengan sungguh – sungguh sebab merasa yakin akan diterima.
Menyikapi fenomena tersebut, penulis melihat setidaknya ada dua duduk kasus krusial. Pertama, label sekolah favorit nampaknya masih menempel dalam benak siswa maupun orangtua mereka. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan (sebagian) masyarakat dalam memahami maksud dan tujuan diberlakukannya sistem zonasi. PPDB dengan sistem zonasi pada hakikatnya dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan mutu pendidikan di setiap daerah. Artinya, setiap sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanan pendidikannya sebagaimana dilakukan oleh sekolah – sekolah “favorit”. Dalam konteks ini, santunan secara maksimal dari para orangtua akan sangat memilih kualitas layanan yang diberikan oleh sekolah.
Kedua, pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB yang menunjukkan bobot sangat kecil untuk nilai UN sudah semestinya disikapi pemerintah dengan meniadakan UN itu sendiri. Pemberian bobot “minimalis” untuk nilai UN bukan hanya berlaku pada proses PPDB saja, namun juga proses penerimaan calon mahasiswa gres di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Saat ini nilai UN hanya dijadikan variabel terakhir dalam penentuan kelulusan calon mahasiswa dengan bobot tak lebih dari 10 persen.
Berdasarkan klarifikasi di atas, sanggup ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan UN di tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas / Sekolah Menengah kejuruan tidak lagi relevan dengan kondisi dikala ini. Urgensi UN semakin hari kian pudar seiring berkembangnya tuntutan zaman. Pelaksanaan UN di kala zonasi hanya akan menambah kecemburuan sosial serta menurunkan motivasi berguru anak. Alangkah bijaknya apabila anggaran untuk pelaksanaan UN yang sangat besar itu dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat menyerupai meningkatkan kompetensi guru serta perbaikan sarana pembelajaran.
*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani. Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial, Tinggal di Subang, Jawa Barat.
Advertisement