Info Terbaru 2022

Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara Yang Hilang

Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara Yang Hilang
Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara Yang Hilang
Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang Butiran Mutiara Ki Hajar Dewantara yang Hilang

Setiap tanggal dua Mei dijadikan sebagai hari pendidikan nasional. Dijadikan sebagai hari pendidikan nasional sebagai bentuk penghargaan pada Ki Hajar Dewantara atas pemikirannya dibidang pendidikan. Ki Hajar Dewantara populer dengan sekolah taman siswa dengan pola pengajaran atau metode sistem among. Metode yang digali dari kearifan lokal. Metode yang mengindonesia. Metode yang terlupakan.

Baca juga: Saripati Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Pola pengajaran Ki Hajar Dewantara telah tergantikan teori pendidikan Barat. Di kampus teori-teori barat diagung-agungkan sebagai sebuah menara gading. Hal ini telah membentuk pola pikir dan praktek sekuler dalam dunia pendidikan Indonesia; dan apa yang terjadi kini ini merupakan hasil dari pola pikir tersebut. Pendidikan tidak berhasil meneguhkan identitas sebagai bangsa melainkan justru telah mencabut sendi-sendi kebangsan sehingga menjadi bangsa yang tidak mempunyai identitas kebangsaan yang jelas. Pendidikan kini ini telah melahirkan bangsa yang ragu dan gundah wacana dirinya. Semuanya itu alasannya ialah hampir tiga puluh tahun lebih pemerintah menggunakan konsultan pendidikan dari barat yang tindak mengindonesia, “kurang paham” akan budaya atau kearifan lokal yang syarat akan metode belajar.

Ki Hadjar Dewantara memaparkan bahwa sistem Among merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan alasannya ialah merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu : Kodrat Alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya, dan Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak sampai sanggup hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan dalil yang berbunyi : Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladho. Seorang dosen atau guru yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pamong harus menjadi contoh, fasilitor dan mendorong siswa dalam belajar.

Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu insan lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai insan yang utuh berkembang menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand ”. Ki Hajar Dewantara ingin mengajarkan pada kita bahwa mengajar dan mendidik siswa merupakan tanggung jawab bersama (Tripusat Pendidikan) suatu upaya pendidikan yang mencakup pendidikan di tiga lingkungan hidup, ialah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Baca juga: Menciptakan Ruang Kelas yang Efektif

Dalam proses berguru mengajar Ki Hajar Dewantara menganalogikan hubungan guru siswa serupa dengan hubungan petani dan tanamannya. Untuk itu guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok tanam harus takluk kepada kodratnya tanaman, janganlah flora ditaklukkan pada kemauan petani. Haruslah petani menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan tulus kepada kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan tanamannya semata-mata. Kesuburan tanamannya inilah yang menjadi kepentingan petani. Haruslah ia tahu akan perbedaan antara padi, jagung, dna flora lainnya dalam keperluan masing-masing untuk sanggup bertumbuh dengan subur dan sanggup berhasil. Karena itu perlulah si petani tahu dan mengerjakan segala ilmu atau pengetahuan pertanian, yang benar dan baik. Dalam pada itu janganlah membedabedakan pula dari mana asalnya pupuk, asalnya alat, atau asalnya ilmu pengetahuan pertanian, dan sebagainya; segala yang sanggup menyuburkan flora berdasarkan kodrat dan irodatnya harus digunakan petani.

Cara atau alat mendidik anak (siswa) berdasarkan Ki Hadjar Dewantara dimulai dari: memberi teladan (voorbeeld); penyesuaian (pakulinan, gewoontevorming); pengajaran (leering, wulang-wuruk); perintah, paksaan, dan eksekusi (regeering en tucht); laris (zelfbeheersching, zelfdiscipline); pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngroso, beleving).

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan ialah memanusiakan insan muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, mempunyai kegunaan dan kuat di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Menghasilkan insan yang berwawasan Nasional Indonesia. Semoga.

*) Ditulis dan dikirim ke oleh Heronimus Delu Pingge. Pengajar di STKIP Weetebula Sumba Barat Daya NTT
Advertisement

Iklan Sidebar